dr. Tifa Tuding Autoimun & Ijazah Palsu, Jokowi Tersenyum Dengan Bukti

Jokowi sakit Autoimun

dr. Tifa Tuding Autoimun & Ijazah Palsu, Jokowi Tersenyum Dengan Bukti
dr. Tifa Tuding Autoimun & Ijazah Palsu, Jokowi Tersenyum Dengan Bukti

Di tengah riuh rendah panggung politik dan kabar yang selalu menggema dari berbagai penjuru negeri, muncul satu suara yang seolah tak pernah letih melemparkan tuduhan—entah berdasarkan fakta, atau sekadar dugaan yang digoreng sedemikian rupa hingga menggumpal menjadi fitnah. Nama yang belakangan begitu rajin menari-nari di linimasa adalah dr. Tifa. Sosok yang sebelumnya dikenal sebagai seorang dokter, kini lebih sering tampil sebagai penyebar narasi liar tanpa dasar ilmiah yang kredibel, dengan menyasar nama besar Presiden Joko Widodo.

Baru-baru ini, dr. Tifa kembali melontarkan tuduhan. Bukan lagi soal ijazah yang katanya palsu—isu yang sudah basi dan berkali-kali dipatahkan oleh kesaksian teman seangkatan, catatan kampus, hingga bukti kerja nyata—kali ini ia mencoba jalur yang lebih picik: menyerang kesehatan pribadi Presiden ke-7 Republik Indonesia itu. Dalam cuitannya, dr. Tifa menulis bahwa Jokowi tampak seperti menderita autoimun. Tuduhan itu muncul setelah ia mengomentari bercak-bercak hitam di wajah dan leher Jokowi, serta rambut yang tampak menipis.

“Pak Jokowi kok seperti kena Autoimun?” tulisnya lantang, seperti seseorang yang baru saja menemukan penemuan medis terbesar abad ini, padahal tak lebih dari analisis murahan berdasarkan tampilan visual semata. Ia menambahkan, “Dan tiba-tiba juga alopecia berat, rambut rontok mendadak di dahi, ubun-ubun, belakang kepala. Autoimun atau Hiperkortisolisme? Dokter pribadi perlu meresepkan antidepresan, deh. Kasihan, beban berbohong 10 tahun, nggak kebayang rasanya.”

Cuitan itu sontak menyebar cepat, dengan lebih dari 736 ribu penayangan. Ribuan komentar pun berseliweran, ada yang mengamini, banyak pula yang mengecam. Tapi satu hal yang pasti: fitnah ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Ketika seorang tenaga medis menyebarkan diagnosa melalui media sosial tanpa pernah memeriksa pasien, tanpa data laboratorium, tanpa catatan medis, itu bukan hanya pelanggaran etika profesi, tapi bentuk serangan pribadi yang berbahaya dan bisa membunuh karakter.

Mari kita luruskan.

Ketidakhadiran Presiden Jokowi di Upacara Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2025 memang menjadi perbincangan. Tapi tak lama kemudian, ajudan Presiden, Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah, mengungkapkan fakta sebenarnya: Presiden tengah dalam proses pemulihan dari alergi kulit. Sesederhana itu. Bukan autoimun, bukan hiperkortisolisme, apalagi depresi seperti yang secara sembrono dituduhkan oleh dr. Tifa. Dan lagi-lagi, tudingan itu runtuh seperti pasir disiram hujan.

Tapi dr. Tifa seolah tak kapok. Setelah isu kesehatan ini tak berbuah simpati luas, ia kembali menggali lubang lama: soal ijazah. Dengan gaya khasnya yang senang bermain narasi konspiratif, ia mencoba membangkitkan lagi cerita lama bahwa Jokowi bukan lulusan Universitas Gadjah Mada. Katanya, pria dalam foto wisuda yang selama ini dianggap Jokowi bukanlah Jokowi, melainkan sosok bernama Hari Mulyono. Ia bahkan sempat mengunggah foto Jokowi bersama adiknya, Idayanti, dan menulis bahwa itu adalah Hari Mulyono dan istrinya, Idayati, saat wisuda.

Namun, seperti biasa, narasi yang dibangun tanpa pondasi akhirnya retak oleh logika. Tak lama kemudian, pada Maret 2025, dr. Tifa sendiri mengunggah foto lain. Kali ini, ia menyebut bahwa Hari Mulyono adalah pria di barisan kedua, nomor dua dari kiri. Sementara sosok yang sebelumnya ia klaim sebagai Hari Mulyono tak ia bahas lagi. Narasinya berputar, berubah, dan membingungkan bahkan bagi pengikutnya sendiri. Seperti orang yang melempar anak panah ke papan sasaran yang terus ia geser sendiri.

Fitnah itu pun dipatahkan oleh saksi nyata—orang-orang yang pernah hidup bersama Jokowi dan Hari Mulyono. Andi Primaria, teman seangkatan mereka, dengan tegas menyatakan bahwa fisik Jokowi dan Hari Mulyono berbeda. Jokowi lebih tinggi dan kurus, sedangkan Hari Mulyono lebih pendek dan gemuk. Mereka adalah dua orang yang sangat berbeda, dan tak masuk akal jika orang yang mengenalnya sejak muda bisa tertukar antara keduanya.

Kesaksian Andi diperkuat oleh catatan sejarah pekerjaan mereka. Setelah lulus dari UGM, baik Jokowi maupun Hari Mulyono bekerja di PT Kertas Kraft Aceh. Dalam buku Jejak Jokowi di Gayo, dituliskan bahwa mereka bahkan tinggal sekamar di asrama karyawan. Penulis buku itu, Khalisuddin, menjelaskan bahwa saat itu Jokowi belum dikenal sebagai sosok publik, masih berkacamata, dan menjalani kehidupan seperti insinyur muda lainnya. Satu hal yang menarik, Hari Mulyono kemudian menikah dengan adik kandung Jokowi, Idayati, menjadikannya adik ipar secara langsung. Hubungan mereka dekat dan terbuka.

Apakah masuk akal, seseorang bisa menggunakan ijazah adik iparnya untuk melamar kerja di perusahaan BUMN yang seleksinya ketat? Budi Suryanto, adik angkatan mereka di PT KKA, membantah keras. “Dari berita ini saja harusnya orang sudah sadar kalau Jokowi alumni UGM, mana bisa keterima di Aceh tanpa ijazah UGM? Malah isunya kerja di Aceh pakai ijazahnya Hari Mulyono, lha Hari Mulyono juga kerja di situ juga. Jadi Hari pakai ijazah siapa? Memang kocak issue recehan begini,” tulisnya dengan nada satire.

Kekonyolan teori ini memang pantas ditertawakan. Tapi di sisi lain, ini bukan perkara lucu. Ketika narasi liar dan fitnah dilempar tanpa pertanggungjawaban, ada kredibilitas negara yang sedang digerus. Yang diserang bukan hanya pribadi Jokowi, tapi juga institusi pendidikan sekelas UGM, mekanisme rekrutmen BUMN, hingga nalar publik yang terus dicoba untuk dikaburkan.

Kembali ke isu kesehatan. Publik berhak tahu bahwa bercak hitam di wajah tidak otomatis berarti autoimun. Itu bisa disebabkan oleh banyak faktor: paparan sinar matahari, usia, alergi, atau efek obat. Dan rambut rontok? Lagi-lagi, itu fenomena umum. Stres, faktor genetik, atau perubahan hormonal bisa menjadi penyebab. Tapi seorang dokter semestinya tahu, diagnosa bukanlah hasil observasi sepintas lalu apalagi lewat foto. Melontarkan tuduhan medis tanpa bukti adalah pelanggaran serius terhadap kode etik profesi. Tapi dr. Tifa tampaknya telah meninggalkan etika itu sejak lama.

Tuduhannya bahwa Jokowi menyimpan beban kebohongan selama 10 tahun adalah puncak dari fitnah yang diselimuti kebencian. Apa sebenarnya motif di balik semua ini? Apakah hanya obsesi pada ketenaran? Atau ada agenda politik yang mendorongnya menjadi corong bagi pihak-pihak yang ingin mendelegitimasi mantan Presiden yang tetap populer meski telah lengser?

Presiden Jokowi adalah sosok yang menjabat selama dua periode, membawa Indonesia melewati krisis besar seperti pandemi, memajukan infrastruktur secara masif, dan menjaga stabilitas nasional di tengah gejolak politik dunia. Ia mungkin tak sempurna—karena tak ada pemimpin yang sempurna. Tapi rekam jejaknya bicara, dan cinta rakyat padanya tak bisa dipatahkan hanya oleh ocehan di media sosial.

Maka dari itu, publik perlu bersikap kritis. Tidak setiap akun yang memakai gelar “dr.” adalah representasi dari kebenaran ilmiah. Tidak setiap narasi yang disebar berkali-kali akan menjadi fakta. Dan tidak semua yang lantang bersuara berarti benar. Dr. Tifa mungkin menikmati sorotan, tapi sorotan yang didapat dari memfitnah hanya akan membakar citranya sendiri.

Wajah Jokowi mungkin kini tampak berbeda, ada flek, ada kerutan, ada uban. Tapi itu adalah wajah seorang pemimpin yang telah menempuh jalan panjang, membawa beban bangsa, dan tetap tegak berdiri meski diterpa badai. Sementara wajah para pemfitnah tampak mulus di luar tapi keruh dalam nuraninya.

Akhir kata, rakyat Indonesia sudah terlalu cerdas untuk terus digiring oleh narasi murahan. Kita butuh lebih banyak kebenaran, bukan keraguan. Lebih banyak data, bukan drama. Dan lebih banyak integritas, bukan intrik.

Dan untuk dr. Tifa, satu pesan singkat saja: jika Anda ingin tetap disebut sebagai dokter, kembalilah pada etikamu. Jika Anda ingin jadi politisi, setidaknya bertarunglah dengan gagasan, bukan fitnah. Karena sejarah tak pernah ramah pada mereka yang memilih jadi pemecah belah atas nama kebenaran yang tak pernah mereka miliki.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow